Langsung ke konten utama

Kasus Marsinah

            Sebentar lagi bakal tanggal 17 agustus, hari kemerdekaan Republik Indoonesia. Tentu untuk meraih kemerdekaan itu sangat susahdong, diperlukan semangat cinta tanah air dan semangat bela negara. Untuk itu saya mau mengshare tentang kasus Marsinah. Kasus yang sangat populer di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia. Selamat membaca J

Biodata Marsinah

Marsinah (lahir di Nglundo, 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.

Kronologi Kejadian
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Kematian Marsinah
Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.

Proses penyelidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Analisis Kasus    
Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar  hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan  layak dalam hubungan kerja.

Memperoleh kenaikan upah agar layak dan  adil merupakan hak konstitusional. Imlikasinya, pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan pelanggaran  HAM, mengingat fungsi konstitusi salah satunya mengatur dan melindungi HAM. Terkhusus dalam  kasus marsinah, dasar hukum  secara eksplisit para penuntut pun telah ada, yaitu Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya.
Berkumpul ataupun berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan  pemogokan dan unjuk rasa pun telah mendapat perlindungan hukum, bahkan dimasukkan HAM golongan hak atas kebebasan pribadi. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut tidak melakukan tindakan anarkis. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan; setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud yang damai.
Jika melihat kasus Marsinah, tindakan unjuk rasanya tidak menunjukkan dugaan kecenderungan pada aksi anarkis. Rapat, mogok kerja, dan unjuk rasa merupakan hak konstitusional dalam sebuah negara demokratis seperti di Indonesia. Selain atas dasar hukum, perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat tersebut tentu untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk dalam persoalan upah buruh. Terlebih lagi, pada kasus Marsinah, jelas bahwa pihak perusahaan memang tidak mematuhi keputusan gubernur mengenai peningkatan upah buruh.
Keseimbangan beban kerja dengan upah buruh memang merupakan keniscayaan dalam sebuah sistem perekonomian yang berbasis pada kekuatan modal, termasuk di Indonesia. Keengganan pihak perusahaan membiarkan aksi pemogokan terjadi karena berakibat kerugian sangat tidak mendasar. Aksi pemogokan pun merupakan konsekwensi sistem pengupahan yang tidak adil dan tidak sesuai aturan. Sebagai jaminan keseimbangan beban kerja dan upah, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menggolongkan aksi mogok sebagai HAM. Pasal 25 undang-undang tersebut menyatakan; setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berlandaskan aturan hukum  positif, sama sekali tidak ada dasar legitimasi untuk melarang aksi unjuk rasa. Meskipun demikian, tetap diharapkan bahwa kesepakatan cepat tercapai melalui cara perundingan, baik dengan mediasi ataupun secara langsung oleh para pihak. Jika terjadi  aksi penuntutan secara berkelompok sebagai cara akhir, maka posisi  pihak kontra  adalah menyerap aspirasi, sedangkan aparat keamanan berwajib menjamin terciptanya komunikasi baik antarkedua belah pihak.
Jika harus berasumsi dalang di balik pembunuhan marsinah, maka secara umum dapat dicap oknum yang kontra terhadap aksi-aksi demontrasi, dan bisa dikhususkan kepada oknum perusahaan yang memang tidak setuju terhadap kenaikan upah buruh. Putusan kasasi pada Mahkamah Agung (MA) membebaskan seluruh pihak dari segala dakwaan (bebas murni) memang berpotensi menimbulkan sejumlah pertanyaan. Meski telah nyata ada orang yang terbunuh, namun tak satu pun pelaku terjerat hukuman. Asumsi aparat keamanan (polisi atau TNI) sebagai pelaku dapat didasarkan dengan alibi bahwa yang menyuruh melakukan tindak pidana adalah pihak dari perusahaan, sedangkan aparat keamanan hanya sebagai eksekutor pesanan perusahaan. Sedangkan asumsi pihak perusahaan  sebagai pelaku tunggal dapat dikarenakan kepentingan mereka yang terganggu dengan aksi Marsinah. Melihat sejumlah pelaku yang sebelumnya diduga terlibat terdiri atas oknum perusahaan dan aparat TNI, maka berat kemungkinan memang terjadi persekongkolan. Namun kenyataan tidak dapat dibuktikan, mungkin saja  karena kuatnya pengaruh institusi TNI yang mungkin saja terlibat.
Melihat kenyataan di atas, perlu tindakan hukum untuk menuntaskan pelanggaran HAM, baik sebelum ataupun setelah dibentuk di bentuknya Pengadilan HAM. Tindakan tersebut tentu penting mengingat HAM adalah muatan konstitusi dan merupakan perhatian seluruh pihak nasional dan internasional. Perangkat pengadilan dan aturan hukum perlindungan HAM pun telah memadai, sehingga untuk sekarang, penerapannya yang perlu dimaksimalkan.

Upaya Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Marsinah
 Setelah melalui proses kasasi di MA yang menghasilkan keputusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan masyarakat luas bahkan internasional melalui ILO, yang senantiasa menuntut pemerintah RI untuk tetap berupaya mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO dikenal dengan sebutan kasus 1713.
Komitmen pemerintah RI dalam mengusut tuntas kasus tersebut pada awalnya diperlihatkan pada saat pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid yang memberikan perintah kepada Kapolri agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna mengungkap Kasus Marsinah. Begitu juga pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki komitmen yang sama untuk tetap berupaya menuntaskan Kasus Marsinah. Namun, sampai dengan saat ini, Kasus Marsinah belum terungkap.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal Percobaan Sebelum Menghadapi UN Bahasa Indonesia SMA

Soal Percobaan Sebelum Menghadapi UN             Isu hidupnya lembaga bredel dalam legislasi pers nasional kembali menghantui insan pers Indonesia. Beberapa kalangan mengaku telah menerima  draft  perubahan UU Pers yang di dalamnya konon antara lain memuat pengaturan mengenai bredel. Ketakutan akan kembalinya rezim otoriter yang menaburkan kritik dan membudayakan sensor, pembungkaman, serta pembutatulian warga kembali menyeruak. Tidak heran wacana yang hendak dimunculkannya kembali dibredel dalam pembaruan hukum pers yang sebenarnya masih dalam tataran isu menimbulkan gelombang penolakan. Boleh dikata tidak ada satu pun insan pers dan pegiat hak atas kebebasan informasi di negeri ini yang mau lembaga bredel dihidupkan kembali. Eksisnya lembaga bredel dikhawatirkan memberi peluang bagi kekuasaan untuk secara diskredit menghentikan operasi lembaga pers jika dianggap merongrong kewibawaan pemerintah. Pertanyaan mendasar yang layak dikemukakan adalah sejauh mana kekhawatiran akan ke

Dampak Negatif Perjanjian Renville bagi Indonesia

Dampak Negatif Perjanjian Renville Oleh : Arinda Wita Hedila 1.         Bubarnya kabinet Amir Syarifuddin (Januari,1948). Kabinet Amir Syraifudin ditentang oleh dua partai besar yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. Penentangan itu membuat kabinetnya jatuh, hingga Amir syarifudin menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Januari 1948. 2.         Indonesia terpaksa harus menerima bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) lewat masa transisi. Sebelum RIS terbentuk Belanda menguasi seluruh wilayah Indonesia. 3.         Indonesia harus menerima hilangnya wilayah kekuasaan. Daerah-daerah yang direbut Belanda dalam Perang Kolonial I lepas termasuk Republik Indonesia. Wilayah Repubik, baik di Jawa maupun di Sumatra terpecah-pecah. Daerah satu dengan daerah yang lain terpisah oleh daerah pendudukan Belanda.  4.         Pejuang yang berada di daerah Belanda harus masuk ke wilayah RI. 5.         Perekonomian RI diawasi secara ketat oleh pihak Bel

Macam-macam Majas

Macam-macam Majas             Majas perbandingan /pertautan : Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Contoh: Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut. Suami sebagai nahkoda, Istri sebagai juru mudi. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal. Contoh: Sudah dua hari ia tidak terlihat batang hidungnya. 3.       Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, " umpama", "ibarat","bak", bagai". contoh: Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja. 4.       Metafora: Gaya Bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai sifat yang